Langsung ke konten utama

3 Contoh Cerpen Untuk Membuat Novelet

Assalamualaikum Wr Wb

hey.... Guest....
Apa kabar ....?
Semoga Sehat Selalu ea....
Nih Bro... Gue Kasih Materi Hari ini...
Simak ea...

1. Diriku Takberarti Tanpa Tujuan

Mbreeeeeemmm....... mbreeeemmm .... mbreemm....  suara knalpot sepeda motor yang sangat bising terdengar di telingaku. Ini merupakan alarm yang sering ku dengar sewaktu masih tidur. Sedikit demi sedikit mata yang terpejam ini ku buka. Badan ini terasa berat saat berada di atas pembaringanku. Tempat tidur yang hanya beralaskan kardus bekas yang kupungut diseberang jalan. Kuterbangun karna paksaan keadaan.

Inilah duniaku, setelah bangun tidur, saya langsung mandi apabila teringat dan menuju jalan raya yang letaknya tidak jauh dari tempat tidurku semalam. Berangkat dengan penuh harapan untuk mendapatkan belas kasih dari orang-orang yang lewat.

Saya masih ingat bahwa ini masih sangat pagi, dan belum nampak jelas gambaran matahari. Namun terlihat dari mataku lalu lintas diperempatan jalan sudah mulai memadat. Saatnya aku beraksi, segerombolan pengemis dan pengamen mulai mengerumuni pengguna jalan. Aku gunakan hariku untuk menyampaikan isi hatiku lewat lagu. Aku ikut mengamen seperti yang lainnya dengan penuh beban pikiran dan harapan mengetuk pintu-pintu jendela mobil yang dapat ku jangkau. Menunggu uluran tangan dari mereka yang masih memiliki hati nurani melihat wajahku yang memelas.

‎Menunggu rupiah yang belum pasti jumlahnya dari orang-orang ini. Dengan menghiraukan mereka memberikannya karena kasihan, marah, atau jengkel karena kehadiranku yang tidak mereka inginkan. Yang terpenting saya bisa mendapatkan uang untuk hidup dari mereka.

Lampu merah merupakan sahabatku, dikala pengendara jenuh menanti bergantinya lampu hijau, inilah kesempatanku untuk menyalurkan bakatku. Namun tidak banyak dari mereka yang mengulurkan tangannya. Terkadang malah cacian yang kuterima. Apalah daya, hidup sendiri tanpa adanya orang tua. Diriku merindukanmu ayah... Aku kangen ibu... Mengapa kalian tidak menemaniku (segudang keluh kesah yang kuhadapi).

Rinduku terhapuskan oleh cerita pelajar SMA yang sedang berboncengan untuk mengais ilmu, sedangkan diriku pagi-pagi sekali sudah dituntut untuk mengais receh.
Raut wajahnya terlihat berbinar-binar menuju sekolah mereka. Tidak seperti nasibku yang menempuh Sekolah Dasarpun belum mendapatkan ijazah karena faktor ekonomi yang kurang mendukung.

Hanya rasa iri yang tertanam di hati melihat keceriaan mereka yang menjalani hidup ini tanpa beban yang dipanggul. Andai saja diriku masih sekolah, mungkin diriku sedang disibukkan dengan segudang PR, bukan setumpuk masalah perekonomian yang ku hadapi. Mungkinkah diriku seperti ini karena kurang bersyukur?, Tuhan pasti memberikan jalan yang terbaik untuk hambanya.

‎Waktu ini bagi diriku dirangkai dengan sistematika yang sangat rumit. Pikiranku melayang namun selalu menemui jalan yang buntu. Tapi menurutku itu tidak terlalu penting untuk menghalangi hidupku. Yang terpenting hari ini aku tidak merasa kelaparan seperti hari-hari kemarin. Hari besok tidak tahu apa yang akan terjadi pada diriku ini. Sebenarnya saya tidak mau mendapat imbalan dari belaskasihan mereka. Namun ini adalah jalan yang harus didaki, walau terasa lelah lagi memilukan.

Di satu titik aku merasa bosan dengan kehidupan seperti ini. Aku berpikir untuk menemukan jalan keluar yang dapat mengubah masa depanku. Aku menderkan perkataan Aziz (teman nongkrong) bahwa ada sekolah gratis yang berada di dekat gubuk rumah Aziz. Diriku ingin seperti mereka yang setiap pagi kulihat penuh canda tawa menyongsong masa depannya.

Ternyata Aziz telah masuk sekolah itu. Dan ia mengajakku untuk bersekolah. Saya berpikir bahwa kesempatan emas pasti datang hanya sekali.
Akhirnya saya memutuskan untuk masuk di sekolahan tersebut.
Saya melihat wajah guru itu mengajar kita semua dengan ikhlas tanpa adanya dana untuk beliau. Akan ku ingat selalu pesan dari guruku ini, yang mau menyisihkan waktunya untuk kita.

Berbekal dari sini saya menjadi sadar bahwa, yang namanya hidup pasti ada suka dan dukanya. Walaupun banyak sedihnya tapi kita patut bersyukur, walaupun kita diberi satu bukit emas, niscaya diriku menginginkan dua bukit emas lagi.
Hidup tanpa adanya tujuan adalah sia-sia.

Sekarang kumengerti bahwa sekeras apapun hidup, itu bisa hancur jika kita berusaha, bangkit, dan yakin bahwa kumampu menghancurkan benteng kegelapan yang telah terbangun dengan kokoh.



2. Kerja Kerasku Terbayar Lunas

Cungkring, seorang pelajar SMA kelas XII yang memiliki perawakan tinggi dan tidak gemuk. Pemuda ini memiliki semangat yang luar biasa, tidak mudah putus asa, sopan terhadap teman, menghormati guru, tidak pilih-pilih teman dan bersikap rendah hati tanpa memandang siapapun sebelah mata.

Si kutu buku merupakan salah satu julukan Cungkring, dia selalu menggunkan waktu dengan bijak. Namun dari semua teman kelasnya tidak semuanya senang kepadanya, terkadang hujatan, cacian, makin, juga hinaan dilemparkan kepadanya.
Namun Cungkring tidak memasukkan perkataan teman-temannya kedalam hatinya. Cungkring terkadang hanya bisa terdiam mendengar ocehan dari mereka.

Setibanya dirumah, ia menyantelkan tasnya di paku yang tertanam di depan rumah sebelah kanan atas. Lelah belum terhapuskan, ia langsung membantu orang tuanya untuk mencari rongsokan sekalipun, demi membantu kedua orang tuanya. Hasilnya akan digunakan oleh Cungkring untuk menambah uang saku dan menyisikan uang tersebut untuk ditabung. Walaupun hidup serba kekurang, ia selalu bersukur kepada Tuhan, dia sadar hidup ini harus diarungi.

Dia masih teringat salah satu pepatah yang sangat populer yakni "Berakit rakit kehulu, berenang renang ketepian" bersakit sakit dahulu besenang senang kemudian. Berkumpul dengan keluarga merupakan kebahagiaan yang luar biasa yang telah dirasajannya. Buat apa berkecukupan tanpa ada rasa bersukur. Dia tidak pernah menyalahkan takdir Tuhan, karena dengan keadaan seperti inilah yang membuat Cungkring lebih dekat dengan-Nya.

Dia tidak iri terhadap teman-temannya yang meminta sesuatu langkung dikabulkan oleh orang tuanya, berbeda dengan dirinya yang menginginkan sepatu baru harus menunggu beberapa bulan untuk mrndapatkan keinginannya. Memanglah, hidup itu perlu usaha yang sangat kokoh.

Senin itu, ibu Cungkring sakit keras. Dia dan ayahnya kebingungan. Mereka harus berbuat apa dan bagaimana?
“Ayah, kita bawa ibu ke dokter saja yah?”
“Pakai apa kita membiayainya nak? Ayah tidak punya uang untuk membawa ibumu berobat nak?.”

Cungkring berlari menuju kamarnya, dia segera mengambil uang tabungannya yang selama ini dikumpulkannya.

Sebelum Cungkring mengambil uang dari tempat di mana dia menyimpannya, dia merasa bimbang, karena uangnya ingin Cungkring pergunakan untuk masuk ke universitas yang dia impikan, namun di sisi lain Cungkring harus membawa ibunya untuk ke dokter.

Tanpa berfikir panjang, dia langsung bergegas mengambil uangnya.
“Ayo ayah, sekarang kita bawa ibu ke dokter!!! Cungkring ada uang yang ditabung.”
“Tapi Kring, itu kan uang tabunganmu nak, ayah yakin kamu menginginkan sesuatu dari uang yang kamu tabung itu bukan?”
jawab ayah.

“Tidak ayah!! Kita harus segara membawa ibu ke dokter ayah! Cungkring tak ingin melihat ibu sakit ayah, dia menginginkan ibu sembuh!!!”
Akhirnya mereka membawa Ibu ke dokter untuk mengetahui keadaan ibu yang sebenarnya.

Malam harinya, Cungkring duduk terdiam dan menangis di teras depan rumahnya.
“Bagaimana Mungkin aku dapat melanjutkan ke perguruan tinggi, sedangkan uangku sudah terpakai untuk berobat ibu.” Dalam hatinya dia berkata.
Ayah pun datang menghampiri Cungkring yang sedang duduk di teras depan rumah. “Kring, maafkan ayah… tak seharusnya kamu gunakan uangmu untuk berobat ibu, harusnya ayah yang membiayai itu…”
“Tidak ayah, ayah tidak perlu meminta maaf sama Cungkring, Cungkring anak ayah dan  anak ibu. Jadi kalau ada apa-apa, Cungkring sanggup itu apapun akan berusaha melakukan untuk ayah dan ibu…”
“Kamu memang baik nak, ayah bahagia punya anak sepertimu… terimakasih anakku..”
“Cungkring ingin Ayah dan Ibu ada di samping Rara kapanpun itu, saat Cungkring sedih ataupun Bahagia.”

Kini Ujian Nasional sudah di depan mata. Dia mengikuti ujian itu dengan baik. Empat hari telah berlalu, kini tinggal menunggu hasilnya.
Hari demi hari dia jalani untuk memulung untuk mengumpulkan uang, untuk berobat ibunya. Dan di setiap hari-harinya dia selalu berdo’a agar dia lulus dengan nilai yang memuaskan dan dapat melanjutkan ke universitas impiannya. Tidak lupa dia selalu mendo’akan ibu dan bapaknya agar mereka senantiasa dalam keadaan sehat.

Tiba saatnya hari pengumuman kelulusan.
Dag… dig… dug jantung Cungkring berdebar debar. Wajahnya terlihat bimbang
“Muhammad Ibnu Cungkring Al Basri”

Di panggillah namanya, saat dia membuka sebuah kertas yang tertera namannya dia dinyatakan lulus dan nilainya pun sangat memuaskan.
Di samping itu Rara dinobatkan sebagai siswa terbaik di SMAnya.
Kini Rara tinggal melangkah ke Universitas dengan mudah.

Tetapi Cungkring bersedih karena dia tidak punya biaya untuk masuk ke universitas yang dimpikan.
Dia memutuskan untuk pulang ke rumah, di sepanjang jalan dari sekolah sampai rumah ia masih terus merasa sedih. Dia melihat ibunya yang sedang duduk di teras rumah, Cungkring berlari memeluk ibunya.
“Cungkring, apa yang terjadi pada dirimu nak? Mengapa kamu menangis seperti ini? Apa yang membuatmu menangis nak? Bagaimana dengan hasil Ujian Nasional yang kamu hadapi kemarin?”

“Bu.. ibu.. Cungkring mendapatkan nilai yang sangat bagus dan memuaskan ibu, Cungkringpun dinobatkan sebagai siswa terbaik di sekolah bu.”
“Ibu bahagia mendengarnya nak, kamu memang anak ibu yang baik, pandai dan ganteng. Anak ibu yang sangat ibu sayang. Lalu apa yang membuat anak ibu yang tampan ini ?”
“Cungkring sedih, karena Cungkring ingin melanjutkan ke perguruan tinggi yang  diimpikan bu, tapi itu tidak terwujud.”
“Bacalah ini anakku, siapa tau ini dapat membuatmu tersenyum kembali.”
Ibu menyerahkan surat kepada Cungkring. Setelah dia membacanya raut wajahnya kini berubah menjadi kebahagiaan.
“Ibu.. ibu.. Cungkring tidak mimpikan? Ibu apa ini benar?”
Ibu hanya tersentum untuk nya.
“Ikutlah tes seleksi beasiswa di universitas harapanmu itu nak, ibu yakin kamu pasti bisa. Ibu ingin melihatmu sukses, dan ingin melihatmu meraih cita-cita yang kamu inginkan anakku.”

Dengan penuh yakin dan semangat Cungkring akan membuktikan bahwa dia bisa, dan dia dapat mengabulkan permohonan ibunya.
Keesokan harinya, Cungkring bersiap siap untuk bergegas menuju ke UGM, untuk mengikuti tes seleksi.

“Ayah.. Ibu.. Cungkring berangkat, do’akan supaya Cungkring lolos seleksi.”
Dia berpamitan dengan Ayah yang sedang makan dan dengan ibunya yang sedang berbaring.
“Iya nak, kami selalu berdoa untukmu. Hati-hati di jalan nak” ujar ibunya.
Cungkring pun tersenyum “Assalamu’alaikum” sambil berjalan ke depan rumah.
“wa’alaikumussalam.”

Sampai di UGM ternyata ada teman kecil Cungkring yang orangtuanya telah sukses, mereka bertemu saat mereka akan memasuki ruangan tes seleksi itu.
setelah beberapa jam mereka selesai mengerjakan tes itu, mereka keluar dari ruangan dan duduk mengobrol, bercanda. Namun saat mereka bercanda Cungkring tiba-tiba terdiam dan menghentikan candaannya.

Deni temen Cungkring heran melihat Cungkring “Kring, apa yang terjadi? Apa kamu sakit?”
Deni betanya tanya, karena bingung mengapa tiba-tiba Cungkring terdiam seperti ini.
“Den, perasaanku berubah menjadi tidak enak.
“Iya kamu akan bahagia setelah kita melihat hasil tes itu, yakinlah kita lolos” Deni menenangkan hati Cungkring.
“Ah kamu bisa aja Den, tapi bukan itu yang aku maksud Den”
“Lalu? Sudahlah Kring, jangan berpikiran yang gak-gak. Yakinlah tidak ada apapun yang terjadi, keep smile Cungkring Temanku yang tampan. Heheheh”
“Halah kamu Ki, bisa aja, hehehe”

Setelah menunggu sekian lama, akhirnya dia dan Deni di terima di Universitas Gadjah Mada. Mereka merasa sangat bahagia, mereka membawa kabar bahagia itu untuk keluarganya.
Cungkring merasa sangat bahagia, dia telah bisa memenuhi ucapan ibunya.

Cungkring berlari menuju rumah, tetapi apalah yang terjadi, sesampainya di depan pintu, kebahagiaannya berubah menjadi duka.
Dia menjadi lemah tanpa daya, dia segera memeluk dan menangis di tubuh ibunya yang sudah tidak bernyawa lagi.
Kini Ibu Cungkring telah meninggalkan dirinya dan Ayahnya.
Cungkring masih terus mengingat ucapan-ucapan terakhir dari ibunya.
Setelah kepergian ibunya dia menjadi anak yang sangat pendiam dan jarang tersenyum.

Semangatnya mulai perlahan lahan turun dan patah. Dia selalu sedih saat dia teringat dengan sosok ibunya.
“Masih ada ayah di sini nak, yang selalu mendukungmu, yang selalu menyemangatimu. Ibumu ada di sampingmu, dia selalu mendampingimu mengerjar cita cita.”
Setelah mendengar perkataan ayahnya kini semangatnya kembali lagi, dan kini mulai tersenyum kembali.

Setelah Selesai kuliah kini dia benar-benar menjadi pengusaha yang sangat sukses.
Apa yang Cungkring cita-citakan telah terwujud semua.
Dia sangat bahagia karena dia dapat membuktikan dan memenuhi apa yang ibunya inginkan.                                                               
Ayah, ibu.. Kini aku menjadi pengusaha yang sangat sukses, dan cita citaku yang aku Impikan sejak aku SMP telah terwujud semua.

3. Hidupku Tidak Semudah Meniup Debu

Eko merupakan pengusaha sukses. Namun untuk mendapatkan kesuksesan tersebut, Eko telah menjalani hidup yang keras. Ayahnya tidak dapat menyekolahkannya. Namun Eko sadar bahwa dia memiliki jiwa yang kokoh, dan semangat juang tinggi.
Eko merupakan anak dari seorang petani. Saat umur sembilan tahun, ibunya meninggalkan ayah dan dirinya untuk selamanya.

Di usia yang masih sangat muda itu ia pun harus belajar memenuhi kebutuhannya sendiri. Masa kecilnya ia habiskan untuk membantu sang ayah, mencari kayu bakar, mencari rongsok untuk dijual dan banyak lagi.
Untuk makan sehari-hari kebanyakan hanya memakai sambal, ikan asin dan sayur singkong. Meski hidup tanpa ibu tetapi kemandirian sudah terlihat dari Eko masih kecil. Ia punya sifat yang keras, tak mau mengeluh dan pandai mencari jalan keluar.

“Bosan pak, makan itu-itu terus, hari ini aku tidak bantu bapak ya?”, ujarnya suatu pagi.
“Loh, memang kamu mau di rumah saja?”, jawab bapaknya heran.
“Tidak, bapak kerja saja, hari ini aku yang masak, nanti aku mau cari keong atau belalang, untuk lauk pak”, ucap Eko.

Sang ayah tersenyum kecil melihat inisiatif anaknya tersebut. Meski dalam hatinya ia merasa kasihan tetapi ia tidak bisa berbuat banyak. “Ya sudah, tapi ingat, hati-hati ya, jangan main di sungai!”, pesan sang ayah. “Iya Pak”, jawab Eko singkat.
Kadang mencari belalang untuk digoreng, kadang mencari keong untuk dimasak. Kalau dia sedang mencari kayu ia juga tak lupa mencari umbi-umbian untuk dimasak. Masa kecil Eko habiskan untuk bermain dengan kerasnya hidup. Sampai suatu hari, ketika ia sudah mulai besar sang ayah pun mulai memikirkan nasib-nya.

“Eko, kamu kan tidak sekolah, nanti besar kamu mau jadi apa Nak?”, tanya sang ayah.
“Mau jadi sukses Pak, aku tidak mau hidup susah seperti bapak”, ucapnya sambil tersenyum.
Sang ayah berpikir keras untuk menyiapkan jalan bagi anak laki-lakinya itu. Melihat anaknya yang suka sekali pergi di ladang, sawah dan sebagainya maka ia pun punya ide untuk memberi anaknya pekerjaan.
“Nak, kamu mau tidak memelihara ayam”, ucap ayahnya suatu sore.
“Mau, tapi yang jago ya pak, nanti bisa dapat duit banyak!”, ucap Eko polos
“Hust, itu tidak boleh”, jawab ayahnya, “besok ayah belikan ayam dua, kamu pelihara dengan baik ya”, lanjut sang ayah.

Sepasang ayam kampung menjadi pertanda awal kesuksesan Eko. Akhirnya, perjalanan hidupnya mulai berubah, sang ayah mulai memiliki secercah harapan untuk masa depan Eko. Bagaimana tidak, Eko bisa memelihara ayam itu dengan baik. Akhirnya sang ayah mencoba mengajari Eko untuk mencari uang.

“Nak, ayam kamu kan sudah banyak, bagaimana jika sebagian kita jual?”, tanya sang ayah
“Tapi Pak, kan sayang…”, ucap Eko ragu.
“Nak, ayam itu kita jual dan uangnya bisa kita belikan yang lain. Kalau boleh besok ayah ingin mengajari kamu pelihara bebek, bagaimana?”, tanya sang ayah.
Akhirnya, sebagian ayam Eko dijual untuk membeli bebek. Tapi ternyata, bebek bukanlah ternak yang Eko sukai, ia tidak bisa memeliharanya dengan baik. Akhirnya beberapa ekor bebek yang Eko miliki pun dijual.

Berawal dari kejadian itu, Eko akhirnya sadar akan bakat yang ia miliki. Perlahan, perjalanan hidup yang tadinya sangat sulit kini menjadi lebih mudah. Di usianya yang menginjak dewasa, dengan sang ayah yang sudah mulai tua dan tidak bisa bekerja keras terus akhirnya Eko terus mengurusi ternak yang ia miliki.

Pelan-pelan mereka mulai bisa menggantungkan hidupnya pada ternak ayam milik Eko. Dia pun semakin rajin dan bersemangat. “Nak, perjalanan hidup kamu nanti akan berubah, kamu tidak akan susah seperti bapak”, ucap ayah Eko suatu hari.
Beberapa bulan kemudian ayah Eko sakit keras dan meninggal dunia. Eko pun kini hidup sebagai yatim piatu. Berbekal ayam yang tersisa ia mulai menata hidupnya. Waktu berlalu dan masa depan Eko sudah semakin jelas.

Sekeras apapun hidup ini, bersabarlah dan berusahalah! Pasti ada jalan lain yang tidak pernah disangka-sangka. Memang kita hidup didunia ini dipenuhi dengan ujian hidup yang berbeda-beda kadarnya. Tapi ingatlah disuatu masa masti mrnikmati manisnya hidup walaupun sedikit.

☆☆☆☆☆★★★★★☆☆☆☆☆

Ga Terasa Sudah Selesai Nih...!
hehe..., becanda....
orang dari tadi gue buat lama kuy...,
Semoga Bermanfaat Ea...
Belajarnya yang giat....!
Tetap Semangat Bray....
Sampai Jumpa di pembahasan selanjutnya ea...

Wassalamualaikum Wr Wb

⇨⇨⇨⇨⇨◀■▶⇦⇦⇦⇦⇦