Langsung ke konten utama

Kerajaan Islam di Sumatra


Sejak awal kedatangan Islam, Pulau Sumatra termasuk daerah pertama dan terpenting dalam pengembangan agama Islam di Indonesia. Dikatakan demikian mengingat letak Sumatra yang strategis dan berhadapan langsung dengan jalur perdangan dunia, yakni Selat Malaka. Berdasarkan catatan Tomé Pires dalam Suma Oriental (1512-1515) dikatakan bahwa di Sumatra, terutama di sepanjang pesisir Selat Malaka dan pesisir barat Sumatra terdapat banyak kerajaan Islam, baik yang besar maupun yang kecil. Di antara kerajaan-kerajaan tersebut antara lain Aceh, Biar dan Lambri, Pedir, Pirada, Pase, Aru, Arcat, Rupat, Siak, Kampar, Tongkal, Indragiri, Jambi, Palembang, Andalas, Pariaman, Minangkabau, Tiku, Panchur, dan Barus. Menurut Tomé Pires, kerajaan-kerajaan tersebut ada yang sedang mengalami pertumbuhan, ada pula yang sedang mengalami perkembangan, dan ada pula yang sedang mengalami keruntuhannya.




⇨ a. Samudra Pasai


Samudra Pasai diperkirakan tumbuh berkembang antara tahun 1270 dan 1275, atau pertengahan abad ke13. Kerajaan ini terletak lebih kurang 15 km di sebelah timur Lhokseumawe, Nanggroe Aceh Darussalam, dengan sultan pertamanya bernama Sultan Malik as-Shaleh (wafat tahun 696 H atau 1297 M). Dalam kitab Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai diceritakan bahwa Sultan Malik as-Shaleh sebelumnya hanya seorang kepala Gampong Samudra bernama Marah Silu. Setelah menganut agama Islam kemudian berganti nama dengan Malik as-Shaleh.

Berikut ini merupakan urutan para raja-raja yang memerintah di Kesultanan Samudra Pasai:

1. Sultan Malik as-Shaleh (696 H/1297 M);
2. Sultan Muhammad Malik Zahir (1297-1326);
3. Sultan Mahmud Malik Zahir (± 1346-1383);
4. Sultan Zainal Abidin Malik Zahir (1383-1405);
5. Sultanah Nahrisyah (1405-1412);
6. Abu Zain Malik Zahir (1412);
7. Mahmud Malik Zahir (1513-1524).

Nama sultan yang disebut terdapat dalam sumber Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai. Nama-nama itu, kecuali nama Sultan Malikush Shaleh juga terdapat dalam mata uang emas yang disebut dengan dirham.

Pada masa pemerintahan Sultan Malik as-Shaleh, Kerajaan Pasai mempunyai hubungan dengan negara Cina. Seperti yang disebutkan dalam sumber sejarah Dinasti Yuan, pada 1282 duta Cina bertemu dengan Menteri Kerajaan Sumatra di Quilan yang meminta agar Raja Sumatra mengirimkan dutanya ke Cina. Pada tahun itu pula disebutkan bahwa kerajaan Sumatra mengirimkan dutanya yang bernama Sulaiman dan Syamsuddin.

Menurut
Tome Pires, Kesultanan Samudera Pasai mencapai puncaknya pada awal abad ke-16. Kesultanan itu mengalami kemajuan diberbagai bidang kehidupan seperti politik, ekonomi, pemerintahan, keagamaan, dan terutama ekonomi perdagangan. Diceritakan pula bahwa Kesultanan Samudera Pasai selalu mengadakan hubungan persahabatan dengan Malaka, bahkan hubungan persahabatan itu diperkuat dengan perkawinan. Para pedagang yang pernah mengunjungi Pasai berasal dari berbagai negara seperti,
Rumi, Turki, Arab, Persia (Iran), Gujarat, Keling, Bengal, Melayu, Jawa, Siam, Kedah, dan Pegu. Sementara barang komoditas yang diperdagangkan adalah lada, sutera, dan kapur barus. Di samping komoditas itu sebagai penghasil pendapatan Kesultanan Samudera Pasai, juga diperoleh pendapat dari pajak yang dipungut dari pajak barang eksport dan import. Dalam sumber-sumber sejarah juga dijelaskan, bahwa Kesultanan Samudera Pasai telah menggunakan mata uang seperti uang kecil yang disebut dengan ceitis. Uang kecil itu ada yang terbuat dari emas dan ada pula yang terbuat dari dramas.

Dalam bidang keagamaan, Ibnu Batuta menjelaskan bahwa Kesultanan Samudera Pasai juga dikunjungi oleh para ulama dari Persia, Suriah (Syria), dan Isfahan. Dalam catatan Ibnu Batuta disebutkan bahwa Sultan Samudera Pasai sangat taat terhadap agama Islam yang bermazhab Syafi’i. Sultan selalu dikelilingi oleh para ahli teologi Islam.

Kerajaan Samudera Pasai mempunyai peranan penting dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara. Malaka menjadi kerajaan yang bercorak Islam karena amat erat hubungannya dengan Kerajaan Samudera Pasai. Hubungan tersebut semakin erat dengan diadakannya pernikahan antara putraputri sultan dari Pasai dan Malaka sehingga pada awal abad15 atau sekitar 1414 M tumbuhlah Kerajaan Islam Malaka, yang dimulai dengan pemerintahan Parameswara.

Dalam Hikayat Patani terdapat cerita tentang pengislaman Raja Patani yang bernama Paya Tu Nakpa dilakukan oleh seorang dari Pasai yang bernama Syaikh Sa’id, karena berhasil menyembuhkan Raja Patani. Setelah masuk Islam, raja berganti nama menjadi Sultan Isma’il Syah Zill Allah fi al-Alam dan juga ketiga orang putra dan putrinya yaitu Sultan Mudaffar Syah, Siti Aisyah, dan Sultan Mansyur. Pada masa pemerintahan Sultan Mudaffar Syah juga datang lagi seorang ulama dari Pasai yang bernama Syaikh Safi’uddin yang atas perintah raja ia mendirikan masjid untuk orangorang Muslim di Patani. Demikian pula jenis nisan kubur yang disebut Batu Aceh menjadi nisan kubur raja-raja di Patani, Malaka, dan Malaysia. Pada umumnya nisan kubur tersebut berbentuk menyerupai nisan kubur Sultan Malik as-Shaleh dan nisan-nisan kubur dari sebelum abad ke-17. Dilihat dari kesamaan jenis batu serta cara penulisan dan huruf-huruf bahkan dengan cara pengisian ayat-ayat al-Qur’an dan nuansa kesufiannya, jelas Samudera Pasai mempunyai peranan penting dalam persebaran Islam di beberapa tempat di Asia Tenggara dan demikian pula di bidang perekonomian dan perdagangan. Namun, sejak Portugis menguasai Malaka pada 1511 dan meluaskan kekuasaannya, maka Kerajaan Islam Samudera Pasai mulai dikuasai sejak 1521. Kemudian Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah lebih berhasil menguasai Samudera Pasai.
Kerajaan- kerajaan Islam yang terletak di pesisir seperti Aru, Pedir, dan lainnya lambat laun berada di bawah kekuasaan Kerajaan Islam Aceh Darussalam yang sejak abad ke-16 makin mengalami perkembangan politik,ekonomi-perdagangan, kebudayaan dan keagamaan.



⇨ b. Kesultanan Aceh Darussalam


Pada 1520 Aceh berhasil memasukkan Kerajaan Daya ke dalam kekuasaan Aceh Darussalam. Tahun 1524, Pedir dan Samudera Pasai ditaklukkan. Kesultanan Aceh Darussalam di bawah Sultan Ali Mughayat Syah menyerang kapal Portugis di bawah komandan Simao de Souza Galvao di Bandar Aceh.

Pada 1529 Kesultanan Aceh mengadakan persiapan untuk menyerang orang Portugis di Malaka, tetapi tidak jadi karena Sultan Ali Mughayat Syah wafat pada 1530 dan dimakamkan di Kandang XII, Banda Aceh. Di antara penggantinya yang terkenal adalah Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar (1538-1571). Usaha-usahanya adalah mengembangkan kekuatan angkatan perang, perdagangan, dan mengadakan hubungan internasional dengan kerajaan Islam di Timur Tengah, seperti Turki, Abessinia (Ethiopia), dan Mesir. Pada 1563 ia mengirimkan utusannya ke Konstantinopel untuk meminta bantuan dalam usaha melawan kekuasaan Portugis.

Dua tahun kemudian datang bantuan dari Turki berupa teknisi-teknisi, dan dengan kekuatan tentaranya Sultan Alauddin Riayat Syah at-Qahhar menyerang dan menaklukkan banyak kerajaan, seperti
Batak, Aru, dan Barus. Untuk
menjaga keutuhan Kesultanan Aceh, Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar menempatkan suami saudara perempuannya di Barus dengan gelar Sultan Barus, dua orang putra sultan diangkat menjadi Sultan Aru dan Sultan Pariaman dengan gelar resminya Sultan Ghari dan Sultan Mughal, dan di daerahdaerah pengaruh Kesultanan Aceh ditempatkan wakil-wakil dari Aceh.

Kemajuan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda mengundang perhatian para ahli sejarah. Di bidang politik Sultan Iskandar Muda telah menundukkan daerahdaerah di sepanjang pesisir timur dan barat. Demikian pula Johor di Semenanjung Malaya telah
diserang, dan kemudian rnengakui kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam. Kedudukan Portugis di Malaka terus-menerus mengalami ancaman dan serangan, meskipun keruntuhan Malaka sebagai pusat perdagangan di Asia Tenggara baru terjadi sekitar tahun 1641 oleh VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) Belanda. Perluasan kekuasaan politik VOC sampai Belanda pada dekade abad ke-20 tetap menjadi ancaman bagi Kesultanan Aceh.


⇨ c. Kerajaan-Kerajaan Islam di Riau



Kerajaan Islam yang ada di Riau dan Kepulauan Riau
menurut berita Tome Pires (1512-1515 ) antara lain Siak, Kampar, dan Indragiri. Kerajaan Kampar, Indragiri, dan Siak pada abad ke-13 dan ke-14 dalam kekuasaan Kerajaan Melayu dan Singasari-Majapahit, maka kerajaan-kerajaan tersebut tumbuh menjadi kerajaan bercorak Islam sejak abad ke-15. Pengaruh Islam yang sampai ke daerah-daerah itu mungkin akibat perkembangan Kerajaan Islam Samudera Pasai dan Malaka. Jika kita dasarkan berita Tome Pires, maka ketiga Kerajaan Kampar, Indragiri dan Siak senantiasa melakukan perdagangan dengan Malaka bahkan memberikan upeti kepada Kerajaan Malaka. Ketiga kerajaan di pesisir Sumatra Timur ini dikuasai Kerajaan Malaka pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah (wafat 1477). Bahkan pada masa pemerintahan putranya, Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah (wafat 1488) banyak pulau di Selat Malaka (orang laut) termasuk Lingga-Riau, masuk kekuasaan Kerajaan Malaka. Siak menghasilan padi, madu, lilin, rotan, bahan-bahan apotek, dan banyak emas. Kampar menghasilkan barang dagangan seperti emas, lilin, madu, biji-bijian, dan kayu gaharu. Indragiri menghasilkan barang-barang perdagangan, seperti Kampar, tetapi emas dibeli dari pedalaman Minangkabau.

Siak menjadi daerah kekuasaan Malaka sejak penaklukan oleh Sultan Mansyûr Syah di mana ditempatkan raja-raja sebagai wakil Kemaharajaan Melayu. Ketika Sultan Mahmud Syah I berada di Bintan, Raja Abdullah yang bergelar Sultan Khoja Ahmad Syah diangkat di Siak. Pada 1596 yang menjadi Raja Siak ialah Raja Hasan putra Ali Jalla Abdul Jalil, sementara saudaranya yang bernama Raja Husain ditempatkan di Kelantan. Kemudian di Kampar ditempatkan Raja Muhammad. Sejak VOC Belanda menguasai Malaka pada 1641 sampai abad ke-18 praktis ketiga kerajaan, yaitu Siak, Kampar, dan Indragiri berada di bawah pengaruh kekuasaan politik dan ekonomi–perdagangan VOC. Perjanjian pada 14 Januari 1676 berisi, bahwa hasil timah harus dijual hanya kepada VOC.

Demikian pula dengan ditemukan tambang emas dari Petapahan, Kerajaan Siak, juga terikat oleh ikatan perjanjian monopoli perdagangan sehingga Raja Kecil pada 1723 mendirikan kerajaan baru di Buantan dekat Sabak Auh di Sungai Jantan Siak yang kemudian disebut juga Kerajaan Siak. Raja Kecil kemudian sebagai sultan memakai gelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah (1723-1748), dan selama pemerintahannya ia meluaskan daerah kekuasaannya sambil melakukan perlawanan-perlawanan terhadap kekuasaan politik VOC, bahkan sering muncul armadanya di Selat Malaka. Pada 1750, Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah memindahkan ibukota kerajaan dari Buantan ke Mempura yang terletak di tepi Sunai Memra Besar, Sungai Jantan diubah namanya menjadi Sungai Siak dan kerajaannya disebut Kerajaan Siak Sri Indrapura. Karena VOC, yang kantor dagangnya ada di Pulau Guntung di mulut Sungai Siak, sering mengganggu lalu lintas kapalkapal Kerajaan Siak Sri Indrapura, maka Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah dengan pasukannya pada 1760 menyerang benteng VOC.

Kerajaan Siak di bawah pemerintahan Sultan Sa’id Ali (1784-1811) banyak berjasa bagi rakyatnya. Ia berhasil memakmurkan kerajaan dan ia dikenal sebagai seorang Sultan yang jujur. Daerah-daerah yang pada masa Raja Kecil melepaskan diri dari Kerajaan Siak dan berhasil ia kuasai kembali. Sultan Sa’id Ali memundurkan diri sebagai Sultan Siak pada 1811 dan kemudian pemerintahannya diganti oleh putranya, Tengku Ibrahim. Di bawah pemerintahan Tengku Ibrahim inilah Kerajaan Siak mengalami kemunduran sehingga banyak orang yang pindah ke Bintan, Lingga Tambelan, Terenggano, dan Pontianak. Ditambah lagi dengan adanya perjanjian dengan VOC pada 1822 di Bukit Batu yang isinya menekankan Kerajaan Siak tidak boleh mengadakan ikatanikatan atau perjanjian-perjanjian dengan negara-negara lain kecuali dengan Belanda. Dengan demikian, Kerajaan Siak Sri Indrapura semakin sempit geraknya dan semakin banyak dipengaruhi politik penjajahan Hindia-Belanda.

Sebagaimana telah disebutkan bahwa Kerajaan Kampar sejak abad ke-15 berada di bawah Kerajaan Malaka. Pada masa pemerintahannya, Sultan Abdullah di Kampar tidak mau menghadap Sultan Mahmud Syah I di Bintan selaku pemegang kekuasaan Kemaharajaan Melayu. Akibatnya Sultan Mahmud Syah I mengirimkan pasukannya ke Kampar. Sultan Abdullah minta bantuan Portugis, dan berhasil mempertahankan Kampar. Ketika Sultan Abdullah dibawa ke Malaka oleh Portugis, maka Kampar ada di bawah pembesarpembesar kerajaan, di antaranya Mangkubumi Tun Perkasa yang mengirimkan utusan ke Kemaharajaan Melayu di bawah pimpinan Sultan Abdul Jalil Syah I yang memohon agar di Kampar ditempatkan raja.

Hasil permohonan tersebut dikirimkan seorang pembesar dari Kemaharajaan Melayu ialah Raja Abdurrahman bergelar Maharaja Dinda Idan berkedudukan di Pekantua. Hubungan antara Kerajaan Kampar di bawah pemerintahan Maharaja Lela Utama dengan Siak dan Kuantan diikat dengan hubungan perdagangan. Tetapi masa pemerintahan penggantinya Maharaja Dinda II memindahkan ibukota Kerajaan Kampar pada 1725 ke Pelalawan yang kemudian mengganti Kerajaan Kampar menjadi Kerajaan Pelalawan. Kemudian kerajaan tersebut tunduk kepada Kerajaan Siak, dan pada 4 Februari 1879 dengan terjadinya perjanjian pengakuannya Kampar berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Kerajaan Indragiri sebelum 1641 yang berada di bawah Kemaharajaan Malayu berhubungan erat dengan Portugis, tetapi setelah Malaka diduduki VOC, mulailah berhubungan dengan VOC yang mendirikan kantor dagangnya di Indragiri berdasarkan perjanjian 28 Oktober 1664.

Pada 1765, Sultan Hasan Shalahuddin Kramat Syah
memindahkan ibukotanya ke Japura tetapi dipindahkan lagi pada 5 Januari 1815 ke Rengat oleh Sultan Ibrahim atau Raja Indragiri XVII. Sultan Ibrahim inilah yang ikut serta berperang dengan Raja Haji di Teluk Ketapang pada 1784. Demikianlah, kekuasaan politik kerajaan ini sama sekali hilang berdasarkan Tractat van Vrede en Vriend-schap 27 September 1838, berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda, yang berarti jalannya pemerintahan Kerajaan Indragiri ditentukan pemerintah Hindia Belanda.


⇨ d. Kerajaan Islam di Jambi



Berdasarkan temuan-temuan arkeologis kemungkinan kehadiran Islam di daerah Jambi diperkirakan dimulai sejak abad ke-9 atau abad ke-10 sampai abad ke-13. Kemungkinan pada masa itu proses Islamisasi masih terbatas pada perorangan. Karena proses Islamisasi besar-besaran bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya Kerajaan Islam Jambi sekitar 1500 M di bawah pemerintahan Orang Kayo Hitam yang juga meluaskan “Bangsa XII” dari “Bangsa IX”, anak Datuk Paduka Berhala. Konon menurut Undang- Undang Jambi, Datuk Paduka Berhala adalah orang dari Turki yang terdampar di Pulau Berhala yang kemudian dikenal dengan sebutan Ahmad Salim. Ia menikah dengan Putri Salaro Pinang Masak yang sudah Muslim, turunan raja-raja Pagarruyung yang kemudian melahirkan Orang Kayo Hitam, Sultan Kerajaan Jambi yang terkenal. Karena itu kemungkinan besar penyebaran Islam sudah terjadi sejak sekitar tahun 1460 atau pertengahan abad ke-15.

Menurut Sila-sila Keturunan Raja Jambi, dari pernikahan antara Datuk Paduka Berhala dengan Putri Pinang Masak, melahirkan juga tiga saudaranya Orang Kayo Hitam yaitu Orang Kayo Pingai, Orang Kayo Pedataran/Kedataran, dan Orang Kayo Gemuk (seorang putri). Yang menjadi pengganti Datuk Paduka Berhala ialah Orang Kayo Hitam yang beristri salah seorang putri dari saudara ibunya ialah Putri Panjang Rambut. Pengganti Orang Kayo Hiam ialah Panembahan Ilang di Aer yang setelah wafat dimakamkan di Rantau Kapas sehingga terkenal pula dengan Panembahan Rantau Kapas. Masa pemerintahan Datuk Paduka Berhala beserta Putri Pinang Masak sekitar tahun 1460, Orang Kayo Pingai sekitar tahun 1480, Orang Kayo Pedataran sekitar tahun 1490. Sedangkan masa pemerintahan Orang Kayo Hitam sendiri sekitar tahun 1500, Panembahan Rantau Kapas sekitar antara tahun 1500 hingga 1540, Panembahan Rengas Pandak cucu Orang Kayo Hitam sekitar tahun 1540 M, Panembahan Bawah Sawoh cicit Orang Kayo Hitam sekitar tahun 1565. Setelah Panembahan Bawah Sawoh meninggal dunia, pemerintahan diganti kan oleh Panembahan Kota Baru sekitar tahun 1590, dan kemudian diganti lagi oleh Pangeran Keda yang bergelar Sultan Abdul Kahar pada 1615. Sejak masa pemerintahan Kerajaan Islam Jambi di bawah Sultan Abdul Kahar itulah orang-orang VOC mulai datang untuk menjalin hubungan perdagangan. Mereka membeli hasil-hasil Kerajaan Jambi terutama lada. Dengan izin Sultan Jambi pada 1616, Kompeni Belanda (VOC) mendirikan lojinya di Muara Kompeh. Tetapi beberapa tahun kemudian ialah pada 1636 loji tersebut ditinggalkan karena rakyat Jambi tidak mau menjual hasilhasil buminya kepada VOC. Sejak itu hubungan Kerajaan Jambi dengan VOC makin renggang, ditambah pada 1642 Gubernur Jenderal VOC Antonio van Diemen menuduh Jambi bekerjasama dengan Mataram.

Pada masa pemerintahan Sultan Sri Ingalogo (16651690) terjadi peperangan antara Kerajaan Jambi dengan Kerajaan Johor di mana Kerajaan Jambi mendapat bantuan VOC dan akhirnya menang. Meskipun demikian, sebagai upah bantuan itu VOC berturut-turut menyodorkan perjanjian pada 12 Juli 1681, 20 Agustus 1681, 11 Agustus 1683, dan 20 Agustus 1683. Pada hakikatnya perjanjian-perjanjian tersebut menguatkan monopoli pembelian lada, dan sebaliknya VOC memaksakan untuk penjualan kain dan opium. Beberapa tahun kemudian terjadi penyerangan kantor dagang VOC oleh rakyat Jambi dan kepala pedagang VOC, Sybrandt Swart terbunuh pada 1690 dan Sultan Jambi dituduh terlibat. Oleh karena itu, Sultan Sri Ingalogo ditangkap dan diasingkan mula-mula ke Batavia dan akhirnya ke Pulau Banda. Sultan penggantinya ialah Pangeran Dipati Cakraningrat yang bergelar Sultan Kiai Gede. Dengan demikian, Sultan Ratu yang lebih berhak disingkirkan dan ia dengan sejumlah pengikutnya pindah ke Muaratebo, membawa keris pusaka Sigenjei, keris lambang bagi Raja-Raja Jambi yang mempunyai hak atas kerajaan. Sejak itulah terus-menerus terjadi konflik yang memuncak dengan pemberontakan dan perlawanan Sultan Thâhâ Sayf al-Dîn yang dipusatkan terutama di daerah Batanghari Hulu. Di daerah inilah pada pertempuran yang sengit, Sultan Thaha gugur pada 1 April 1904 dan ia dimakamkan di Muaratebo.


⇨ e. Kerajaan Islam di Sumatra Selatan



Sejak Kerajaan Sriwijaya mengalami kelemahan bahkan runtuh sekitar abad ke-14, mulailah proses Islamisasi sehingga pada akhir abad ke-15 muncul komunitas Muslim di Palembang. Palembang pada akhir abad ke-16 sudah merupakan daerah kantong Islam terpenting atau bahkan pusat Islam di bagian selatan “Pulau Emas”. Bukan saja karena reputasinya sebagai pusat perdagangan yang banyak dikunjungi pedagang Arab/Islam pada abad-abad kejayaan Sriwijaya, tetapi juga dibantu oleh kebesaran Malaka yang tak pernah melepaskan keterlibatannya dengan Palembang sebagai tanah asalnya. Palembang sekitar awal abad ke-16 sudah ada di bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Demak masa pemerintahan Pate Rodim seperti diberitakan Tome Pires (1512-1515) bahkan pada waktu itu penduduk Palembang berjumlah lebih kurang 10.000 orang. Tetapi banyak yang mati dalam serangan membantu Demak terhadap Portugis di Malaka. Mereka berdagang dengan Malaka dan Pahang dengan jung-jung sebanyak 10 atau 12 setiap tahunnya. Komoditi yang diperdagangkan adalah beras dan bahan makanan, katun, rotan, lilin, madu, anggur, emas, besi, kapur barus, dan lain-lainnya. Meskipun kedudukan Palembang sebagai pusat penguasa Muslim sudah ada sejak 1550, namun nama tokoh yang tercatat menjadi sultan pertama Kesultanan Palembang ialah Susuhunan Sultan Abdurrahman Khalifat alMukminin Sayyid al-Iman/Pangeran Kusumo Abdurrahman/ Kiai Mas Endi sejak 1659 sampai 1706. Palembang berturutturut diperintah oleh 11 sultan sejak 1706 dan sultan yang terakhir, Pangeran Kromojoyo/Raden Abdul Azim Purbolinggo (1823-1825).

Kontak pertama Kesultanan Palembang dengan VOC terjadi pada 1610, tetapi karena VOC tidak dipedulikan kepentingannya maka selalu terjadi kerenggangan. Pada 1658 wakil dagang VOC, Ockersz beserta pasukannya dibunuh dan dua buah kapalnya yaitu Wachter dan Jacatra dirampas. Akibatnya pada 4 November 1659 terjadi peperangan antara Kesultanan Palembang dengan VOC di bawah pimpinan Laksamana Joan van der Laen. Pada perang ini Keraton Kesultanan Palembang dibakar. Demikian pula Kuta dan permukiman penduduk Cina, Portugis, Arab dan bangsabangsa lainnya yang berada di seberang Kuta juga dibakar. Kota Palembang dapat direbut lagi oleh pasukan Palembang dan kemudian dilakukan
pembangunan-pembangunan,
kecuali Masjid Agung yang hingga kini masih dapat disaksikan meskipun sudah ada beberapa perubahan. Masjid agung mulai dibangun 28 Jumadil Awal 1151 H atau 26 Mei 1748 M pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758). Pada masa pemerintahan putranya yaitu Sultan Ahmad Najmuddin (1758-1774) syiar agama Islam makin pesat. Pada waktu itu, berkembanglah hasil-hasil sastra keagamaan dari tokoh-tokoh, antara lain, Abdussamad alPalimbani, Kemas Fakhruddin, Kemas Muhammad ibn Ahmad, Muhammad Muhyiddin ibn Syaikh Shibabuddin, Muhammad Ma’ruf ibn Abdullah, dan lainnya. Mengenai ulama terkenal Abdussamad bin Abdullah al-Jawi al-Palimbani (1704-1789), telah dibicarakan Azyumardi Azra dalam Historiografi Islam Kontemporer secara lengkap tentang riwayatnya, ajaran serta kitab-kitabnya dan guru-guru sufi serta tarekatnya.

Dalam perjalanan sejarahnya, Kesultanan Palembang sejak pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II mendapat serangan dari pasukan Hindia Belanda pada Juli 1819 atau yang dikenal sebagai Perang Menteng (diambil dari kata Muntinghe). Serangan besar-besaran oleh pasukan Belanda pimpinan J.C. Wolterboek yang terjadi pada Oktober 1819 juga dapat dipukul mundur oleh prajurit-prajurit Kesultanan Palembang. Tetapi pihak Belanda pada Juni 1821 mencoba lagi melakukan penyerangan dengan banyak armada di bawah pimpinan panglima Jenderal de Kock. Sultan Mahmud Badaruddin II ditangkap kemudian dibuang ke Ternate. Kesultanan Palembang sejak 7 Oktober 1823 dihapuskan dan kekuasaan daerah Palembang berada langsung di bawah Pemerintah Hindia Belanda dengan penempatan Residen Jon Cornelis Reijnst yang tidak diterima. Sultan Ahmad Najaruddin Prabu Anom karena memberontak akhirnya ditangkap kemudian diasingkan ke Banda, dan seterusnya dipindahkan ke Menado.


⇨ f. Kerajaan Islam di Sumatra Barat



Islam di daerah Lampung tidak akan dibicarakan karena daerah ini sudah sejak awal masuk kekuasaan Kesultanan Banten, karena itu yang akan dibicarakan pada bagian ini ialah Kerajaan Islam di Sumatra Barat. Mengenai masuk dan berkembangnya Islam di daerah Sumatra Barat masih sukar dipastikan. Berdasarkan berita Cina dari Dinasti T’ang yang menyebutkan sekitar abad ke-7 (674 M) ada kelompok orangorang Arab (Ta’shih) dan disebutkan oleh W.P. Goeneveldt, wilayah perkampungan mereka berada di pesisir barat Sumatra. Islam yang datang dan berkembang di Sumatra Barat diperkirakan pada akhir abad ke-14 atau abad 15, sudah memperoleh pengaruhnya di kerajaan besar Minangkabau. Bahwa Islam sudah masuk ke daerah Minangkabau pada sekitar akhir abad ke-15 mungkin dapat dihubungkan dengan cerita yang terdapat dalam naskah kuno dari Kerinci tentang Siak Lengih Malin Sabiyatullah asal Minangkabau yang mengenalkan Islam di daerah Kerinci, semasa dengan Putri Unduk Pinang Masak, Dayang Baranai, Parpatih Nan Sabatang yang kesemuanya berada di daerah Kerinci. Tome Pires (1512-1515) juga mencatat keberadaan tempat-tempat seperti Pariaman, Tiku, bahkan Barus. Dari ketiga tempat ini diperoleh barang-barang perdagangan, seperti emas, sutra, damar, lilin, madu kamper, kapur barus, dan lainnya. Setiap tahun ketiga tempat tersebut juga didatangi dua atau tiga kapal dari Gujarat yang membawa barang dagangannya antara lain pakaian.

Melalui pelabuhan-pelabuhannya sejak abad ke-15 dan ke-16 hubungan antara daerah Sumatra Barat dengan berbagai negeri terjalin dalam hubungan perdagangan antara lain dengan Aceh. Pada masa Iskandar Muda, Pariaman merupakan salah satu daerah yang berada di bawah pengaruh Kerajaan Aceh dan demikian pula sejak penggantinya. Pada abad ke-17 M, terdapat ulama terkenal di Sumatra Barat salah seorang murid Abdurrauf al-Sinkili yang terkenal bernama Syaikh Burhanuddin (1646-1692) di Ulakan. Ia mendirikan surau dan tak disangsikan lagi Ulakan merupakan pusat keilmuan Islam di Minangkabau. Tarekat Syattariyah yang diajarkannya tersebar di daerah Minangkabau dan ajaran tasawufnya cenderung kepada syariah dan dapat dikatakan sebagai ajaran neo-sufisme. Syaikh Burhanuddin dalam masyarakat setempat dikenal sebagai Tuanku Ulakan. Penyebaran Islam yang bersifat pembaruan dan menjangkau lebih jauh lagi mencapai klimaksnya pada awal abad ke-19.

Sejak awal abad ke-16 sampai awal abad ke-19 di daerah Minangkabau senantiasa terdapat kedamaian, samasama saling menghargai antara kaum adat dan kaum agama, antara hukum adat dan syariah Islam sebagaimana tercetus dalam pepatah “Adat bersandi syara, syara bersandi adat”. Sejak awal abad ke-19 timbul pembaruan Islam di daerah Sumatra Barat yang membawa pengaruh Wahabiyah dan kemudian memunculkan “Perang Padri “, perang antara golongan adat dan golongan agama. Wilayah Minangkabau mempunyai seorang raja yang berkedudukan di Pagarruyung. Raja tetap dihormati sebagai lambang negara tetapi tidak mempunyai kekuasaan, karena hakikatnya kekuasaan ada di tangan para panghulu yang tergabung dalam Dewan Penghulu atau Dewan Negari.

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau
lambat laun terjadi kebiasaan buruk seperti main judi, menyabung ayam, menghisap madat dan minum-minuman keras. Para pembesarnya tidak dapat mencegah bahkan di antaranya turut serta. Terkait dengan hal itu, kaum ulamanya yang kelak dinamakan kaum “Padri” berkeinginan mengadakan perbaikan mengembalikan kehidupan masyarakat Minangkabau kepada kemurnian Islam. Di antara kaum ulama itu Tuanku Kota Tua dari kampung Kota Tua di dataran Agam mengajarkan kemurnian Islam berdasarkan al-Qur’an dan hadis. Sementara itu, pada 1803 tiga orang haji kembali dari Makkah yaitu Haji Miskin dari Pandai Sikat, Haji Sumanik dari Delapan Kota, dan Haji Piabang dari Tanah Datar. Ketika Haji Miskin melarang penyabungan ayam di kampungnya, maka kaum adat melawan sehingga Haji Miskin dikejar-kejar dan ketika sampai ke Kota Lawas ia mendapat perlindungan dari Tuanku Mensiangan. Dari sini Haji Miskin lari ke Kamang dan bertemu dengan Tuanku Nan Renceh yang akhirnya melalui pertemuan beberapa tokoh ulama terutama di darah Luhak Agam dibentuklah kelompok yang disebut “Padri” yang tujuan utamanya ialah memperjuangkan tegaknya syara dan membasmi kemaksiatan. Mereka itu terdiri dari Tuanku Nan Renceh, Tuanku Bansa, Tuanku Galung, Tuanku Lubuk Aer, Tuamku Padang Lawas, Tuanku Padang Luar, Tuanku Kubu Ambelan, dan Tuanku Kubu Senang.

Kedelapan ulama Padri itu disebut Harimau Nan Salapan. Perjuangan kaum Padri itu makin kuat, tetapi pihak kaum Adat dibantu Belanda untuk keuntungan politik dan ekonominya. Hal ini membuat kaum Padri melawan dua kelompok sekaligus yaitu kaum Adat dan kaum penjajah Belanda termasuk perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialisme Belanda. Pada awal abad ke-19, Belanda dengan adanya celah pertentangan antara kaum adat dengan kaum ulama dalam Perang Padri, memakai kesempatan demi keuntungan politik dan ekonominya. Tahun 1830-1838, ditandai dengan perlawanan Padri yang meningkat dan penyerbuan Belanda secara besar-besaran. Perlawanan Padri diakhiri dengan tertangkapnya pemimpin-pemimpin Padri terutama Tuanku Imam Bonjol dalam pertempuran Benteng Bonjol, pada 25 Oktober 1837. Dengan demikian, pemerintah Hindia Belanda pada akhir 1838 berhasil mengukuhkan kekuasaan politik dan ekonominya di daerah Minangkabau atau di Sumatra Barat. Tuanku Imam Bonjol kemudian diasingkan ke Cianjur, dan pada 19 Januari 1839 dibuang ke Ambon, serta pada 1841 dipindahkan ke Menado kemudian ia wafat di tempat itu pada 6 November 1864.











Sumber Buku Cetak Sejarah Indonesia / Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Edisi Revisi

Untuk SMA/MA/SMK/MAK Kelas X Semester 2

Kontributor Naskah : Amurwani Dwi L., Restu Gunawan, Sardiman AM, Mestika Zed, Wahdini Purba, Wasino, dan Agus Mulyana.
Penelaah : Purnawan Basundoro, dan Dadang Supardan.
Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud



Apa|Bagaimana|Dimana|
|Kapan|Mengapa|Siapa