1. Ahli Waris
Jumlah ahli waris yang berhak menerima harta warisan dari seseorang yang meninggal dunia ada 25 orang,yaitu 15 orang dari ahli waris pihak laki-laki yang biasa disebut ahli waris ashabah (yang bagiannya berupa sisa setelah diambil oleh zawil furud) dan 10 orang dari ahli waris pihak perempuan yang biasa disebut ahli waris zawil furud (yang bagiannya telah ditentukan)
2. Syarat-syarat Mendapatkan Warisan Seorang muslim berhak mendapatkan warisan apabila memenuhi syaratsyarat sebagai berikut:
a. Tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang untuk mendapatkan warisan.
b. Kematian orang yang diwarisi, walaupun kematian tersebut berdasarkan vonis pengadilan. Misalnya hakim memutuskan bahwa orang yang hilang itu dianggap telah meninggal dunia.
c. Ahli waris hidup pada saat orang yang memberi warisan meninggal dunia. Jadi, jika seorang wanita mengandung bayi, kemudian salah seorang anaknya meninggal dunia, maka bayi tersebut berhak menerima warisan dari saudaranya yang meninggal itu, karena kehidupan janin telah terwujud pada saat kematian saudaranya terjadi.
a. Tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang untuk mendapatkan warisan.
b. Kematian orang yang diwarisi, walaupun kematian tersebut berdasarkan vonis pengadilan. Misalnya hakim memutuskan bahwa orang yang hilang itu dianggap telah meninggal dunia.
c. Ahli waris hidup pada saat orang yang memberi warisan meninggal dunia. Jadi, jika seorang wanita mengandung bayi, kemudian salah seorang anaknya meninggal dunia, maka bayi tersebut berhak menerima warisan dari saudaranya yang meninggal itu, karena kehidupan janin telah terwujud pada saat kematian saudaranya terjadi.
3. Sebab-sebab Menerima Harta Warisan
Seseorang mendapatkan harta warisan disebabkan salah satu dari beberapa sebab sebagai berikut:
Seseorang mendapatkan harta warisan disebabkan salah satu dari beberapa sebab sebagai berikut:
a. Nasab (keturunan), yakni kerabat yaitu ahli waris yang terdiri dari bapak dari orang yang diwarisi atau anak-anaknya beserta jalur kesampingnya saudara-saudara beserta anak-anak mereka serta paman-paman dari jalur bapak beserta anak-anak mereka. Allah Swt. berfirman dalam Q.S. an-Nisa'/4:33:
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya...”
b. Pernikahan, yaitu akad yang sah yang menghalalkan berhubungan suami isteri, walaupun suaminya belum menggaulinya serta belum berduaan dengannya. Allah Swt. berfirman dalam Q.S. an-Nisa'/4:12: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak.” Suami istri dapat saling mewarisi dalam talak raj’i selama dalam masa idah dan ba’in, jika suami menalak istrinya ketika sedang sakit dan meninggal dunia karena sakitnya tersebut.
c. Wala’, yaitu seseorang yang memerdekakan budak laki-laki atau budak wanita. Jika budak yang dimerdekakan meninggal dunia sedang ia tidak meninggalkan ahli waris, maka hartanya diwarisi oleh yang memerdekakannya itu. Rasulullah saw. bersabda, yang artinya: “Wala’ itu milik orang yang memerdekakannya.” (H.R.al-Bukhari dan Muslim).”
4. Sebab-sebab Tidak Mendapatkan Harta Warisan Sebab-sebab yang menghalangi ahli waris menerima bagian warisan adalah sebagai berikut.
a. Kekafiran. Kerabat yang muslim tidak dapat mewarisi kerabatnya yang kafir, dan orang yang kafir tidak dapat mewarisi kerabatnya yang muslim. Hal ini sebagaimana sabda Nabi saw. yang artinya: “Orang kafir tidak mewarisi orang muslim dan orang muslim tidak mewarisi orang kafir.” (HR. Bukhari dan Muslim).
b. Pembunuhan. Jika pembunuhan dilakukan dengan sengaja, maka pembunuh tersebut tidak bisa mewarisi yang dibunuhnya, berdasarkan hadis Nabi saw.: “Pembunuh tidak berhak mendapatkan apapun dari harta peninggalan orang yang dibunuhnya.” (H.R. Ibnu Abdil Bar)
c.Perbudakan. Seorang budak tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi, baik budak secara utuh ataupun sebagiannya, misalnya jika seorang majikan menggauli budaknya hingga melahirkan anak, maka ibu dari anak majikan tersebut tidak dapat diwarisi ataupun mewarisi. Demikian juga mukatab (budak yang dalam proses pemerdekaan dirinya dengan cara membayar sejumlah uang kepada pemiliknya), karena mereka semua tercakup dalam perbudakan. Namun demikian, sebagian ulama mengecualikan budak yang hanya sebagiannya dapat mewarisi dan diwarisi sesuai dengan tingkat kemerdekaan yang dimilikinya, berdasarkan sebuah hadis Rasulullah saw.,yang artinya: “Ia (seorang budak yang merdeka sebagiannya) berhak mewarisi dan diwarisi sesuai dengan kemerdekaan yang dimilikinya.”
d. Perzinaan. Seorang anak yang terlahir dari hasil perzinaan tidak dapat diwarisi dan mewarisi bapaknya. Ia hanya dapat mewarisi dan diwarisi ibunya, berdasarkan hadis Rasulullah saw.: “Anak itu dinisbatkan kepada si empunya tempat tidur, dan pezina terhalang (dari hubungan nasab.” (H.R. al-Bukhari dan Muslim).
e. Li’an. Anak suami isteri yang melakukan li’an tidak dapat mewarisi dan diwarisi bapak yang tidak mengakuinya sebagai anaknya. Hal ini diqiyaskan dengan anak dari hasil perzinaan.
5. Ketentuan Pembagian Harta Harisan Pembagian harta warisan dari seseorang yang meninggal dunia merupakan
hal yang terakhir dilakukan. Ada beberapa hal yang harus dilakukan sebelum harta warisan dibagikan. Selain pengurusan jenazah, wasiat dan hutang si mayatlah yang harus terlebih dahulu ditunaikan. Dalam al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang menegaskan bahwa pembagian harta warisan dilaksanakan setelah penunaian wasiat dan utang si mayit, seperti yang terdapat dalam Q.S. an-Nisa'/4:11.
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya...”
b. Pernikahan, yaitu akad yang sah yang menghalalkan berhubungan suami isteri, walaupun suaminya belum menggaulinya serta belum berduaan dengannya. Allah Swt. berfirman dalam Q.S. an-Nisa'/4:12: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak.” Suami istri dapat saling mewarisi dalam talak raj’i selama dalam masa idah dan ba’in, jika suami menalak istrinya ketika sedang sakit dan meninggal dunia karena sakitnya tersebut.
c. Wala’, yaitu seseorang yang memerdekakan budak laki-laki atau budak wanita. Jika budak yang dimerdekakan meninggal dunia sedang ia tidak meninggalkan ahli waris, maka hartanya diwarisi oleh yang memerdekakannya itu. Rasulullah saw. bersabda, yang artinya: “Wala’ itu milik orang yang memerdekakannya.” (H.R.al-Bukhari dan Muslim).”
4. Sebab-sebab Tidak Mendapatkan Harta Warisan Sebab-sebab yang menghalangi ahli waris menerima bagian warisan adalah sebagai berikut.
a. Kekafiran. Kerabat yang muslim tidak dapat mewarisi kerabatnya yang kafir, dan orang yang kafir tidak dapat mewarisi kerabatnya yang muslim. Hal ini sebagaimana sabda Nabi saw. yang artinya: “Orang kafir tidak mewarisi orang muslim dan orang muslim tidak mewarisi orang kafir.” (HR. Bukhari dan Muslim).
b. Pembunuhan. Jika pembunuhan dilakukan dengan sengaja, maka pembunuh tersebut tidak bisa mewarisi yang dibunuhnya, berdasarkan hadis Nabi saw.: “Pembunuh tidak berhak mendapatkan apapun dari harta peninggalan orang yang dibunuhnya.” (H.R. Ibnu Abdil Bar)
c.Perbudakan. Seorang budak tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi, baik budak secara utuh ataupun sebagiannya, misalnya jika seorang majikan menggauli budaknya hingga melahirkan anak, maka ibu dari anak majikan tersebut tidak dapat diwarisi ataupun mewarisi. Demikian juga mukatab (budak yang dalam proses pemerdekaan dirinya dengan cara membayar sejumlah uang kepada pemiliknya), karena mereka semua tercakup dalam perbudakan. Namun demikian, sebagian ulama mengecualikan budak yang hanya sebagiannya dapat mewarisi dan diwarisi sesuai dengan tingkat kemerdekaan yang dimilikinya, berdasarkan sebuah hadis Rasulullah saw.,yang artinya: “Ia (seorang budak yang merdeka sebagiannya) berhak mewarisi dan diwarisi sesuai dengan kemerdekaan yang dimilikinya.”
d. Perzinaan. Seorang anak yang terlahir dari hasil perzinaan tidak dapat diwarisi dan mewarisi bapaknya. Ia hanya dapat mewarisi dan diwarisi ibunya, berdasarkan hadis Rasulullah saw.: “Anak itu dinisbatkan kepada si empunya tempat tidur, dan pezina terhalang (dari hubungan nasab.” (H.R. al-Bukhari dan Muslim).
e. Li’an. Anak suami isteri yang melakukan li’an tidak dapat mewarisi dan diwarisi bapak yang tidak mengakuinya sebagai anaknya. Hal ini diqiyaskan dengan anak dari hasil perzinaan.
5. Ketentuan Pembagian Harta Harisan Pembagian harta warisan dari seseorang yang meninggal dunia merupakan
hal yang terakhir dilakukan. Ada beberapa hal yang harus dilakukan sebelum harta warisan dibagikan. Selain pengurusan jenazah, wasiat dan hutang si mayatlah yang harus terlebih dahulu ditunaikan. Dalam al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang menegaskan bahwa pembagian harta warisan dilaksanakan setelah penunaian wasiat dan utang si mayit, seperti yang terdapat dalam Q.S. an-Nisa'/4:11.
يُوْصِيْكُمُ اللّٰهُ فِيْۤ اَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِ ۚ فَاِنْ كُنَّ نِسَآءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۚ وَاِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۗ وَلِاَ بَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ اِنْ كَانَ لَهٗ وَلَدٌ ۚ فَاِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهٗ وَلَدٌ وَّوَرِثَهٗۤ اَبَوٰهُ فَلِاُمِّهِ الثُّلُثُ ۗ فَاِنْ كَانَ لَهٗۤ اِخْوَةٌ فَلِاُمِّهِ السُّدُسُ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْ بِهَاۤ اَوْ دَيْنٍ ۗ
Artinya:
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
mendapat seperenam. (Pembagianpembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya”. (Q.S. an-Nisa'/4:11).
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
mendapat seperenam. (Pembagianpembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya”. (Q.S. an-Nisa'/4:11).
Ahli waris dalam pembagian harta warisan terbagi dua macam yaitu ahli waris zawil furud (yang bagiannya telah ditentukan) dan ahli waris ashabah (yang bagiannya berupa sisa setelah diambil oleh zawil furud ).
a. Ahli waris Zawil Furud Ahli waris yang memperoleh kadar pembagian harta warisan telah diatur oleh Allah Swt. dalam Q.S. an-Nisa'/4 dengan pembagian terdiri dari enam kelompok, penjelasan sebagaimana di bawah ini.
1) Mendapat bagian ½
1) Mendapat bagian ½
a) Suami, jika istri yang meninggal tidak ada anak laki-laki, cucu perempuan atau laki-laki dari anak laki-laki.
b) Anak perempuan, jika tidak ada saudara laki-laki atau saudara perempuan.
c) Cucu perempun, jika sendirian; tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki
d) Saudara perempuan sekandung jika sendirian; tidak ada saudara laki-laki, tidak ada bapak, tidak ada anak atau tidak ada cucu dari anak laki-laki.
e) Saudara perempuan sebapak sendirian; tidak ada saudara lakilaki, tidak ada bapak atau cucu laki-laki dari anak laki-laki.
b) Anak perempuan, jika tidak ada saudara laki-laki atau saudara perempuan.
c) Cucu perempun, jika sendirian; tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki
d) Saudara perempuan sekandung jika sendirian; tidak ada saudara laki-laki, tidak ada bapak, tidak ada anak atau tidak ada cucu dari anak laki-laki.
e) Saudara perempuan sebapak sendirian; tidak ada saudara lakilaki, tidak ada bapak atau cucu laki-laki dari anak laki-laki.
2) Mendapat ¼
a) Suami, jika istri yang meninggal tidak memiliki anak laki-laki atau cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.
b) Istri, jika suami yang meninggal tidak memiliki anak laki-laki atau cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.
b) Istri, jika suami yang meninggal tidak memiliki anak laki-laki atau cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.
3) Mendapat 1/8
Yang berhak mendapatkan bagian 1/8 adalah istri, jika suami memiliki anak atau cucu laki-laki atau perempuan dari anak lakilaki. Jika suami memiliki istri lebih dari satu, maka 1/8 itu dibagi rata di antara semua istri.
4) Mendapat 2/3
a) Dua anak perempuan atau lebih, jika tidak ada anak laki-laki.
b) Dua cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki, jika tidak ada anak laki-laki atau perempuan sekandung.
c) Dua saudara perempuan sekandung atau lebih, jika tidak ada saudara perempuan sebapak atau tidak ada anak laki-laki atau perempuan sekandung atau sebapak.
d) Dua saudara perempuan sebapak atau lebih, jika tidak ada saudara perempuan sekandung, atau tidak ada anak laki-laki atau perempuan sekandung atau sebapak.
5) Mendapat 1/3
a) Ibu, jika yang meninggal dunia tidak memiliki anak laki-laki, cucu perempuan atau laki-laki dari anak laki-laki, tidak memiliki dua saudara atau lebih baik laki-laki atau perempuan.
b) Dua saudara seibu atau lebih, baik laki-laki atau perempuan, jika yang meninggal tidak memiliki bapak, kakek, anak laki-laki, cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.
c) Kakek, jika bersama dua orang saudara kandung laki-laki, atau empat saudara kandung perempuan, atau seorang saudara kandung laki-laki dan dua orang saudara kandung perempuan.
6) Mendapat 1/6
a) Ibu, jika yang meninggal dunia memiliki anak laki-laki atau cucu laki-laki, saudara laki-laki atau perempuan lebih dari dua yang sekandung atau sebapak atau seibu.
b) Nenek, jika yang meninggal tidak memiliki ibu dan hanya ia yang mewarisinya. Jika neneknya lebih dari satu, maka bagiannya dibagi rata.
c) Bapak secara mutlak mendapat 1/6, baik orang yang meninggal memiliki anak atau tidak.
d) Kakek, jika tidak ada bapak.
e) Saudara seibu, baik laki-laki atau perempuan, jika yang meninggal dunia tidak memiliki bapak, kakek, anak laki-laki, cucu perempuan atau laki-laki dari anak laki-laki.
f) Cucu perempuan dari anak laki-laki, jika bersama dengan anak perempuan tunggal; tidak ada saudara laki-laki, tidak ada anak laki-laki paman dari bapak.
g) Saudara perempuan sebapak, jika ada satu saudara perempuan sekandung, tidak memiliki saudara laki-laki sebapak, tidak ada ibu, tidak ada kakek, tidak ada anak laki-laki
b) Dua cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki, jika tidak ada anak laki-laki atau perempuan sekandung.
c) Dua saudara perempuan sekandung atau lebih, jika tidak ada saudara perempuan sebapak atau tidak ada anak laki-laki atau perempuan sekandung atau sebapak.
d) Dua saudara perempuan sebapak atau lebih, jika tidak ada saudara perempuan sekandung, atau tidak ada anak laki-laki atau perempuan sekandung atau sebapak.
5) Mendapat 1/3
a) Ibu, jika yang meninggal dunia tidak memiliki anak laki-laki, cucu perempuan atau laki-laki dari anak laki-laki, tidak memiliki dua saudara atau lebih baik laki-laki atau perempuan.
b) Dua saudara seibu atau lebih, baik laki-laki atau perempuan, jika yang meninggal tidak memiliki bapak, kakek, anak laki-laki, cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.
c) Kakek, jika bersama dua orang saudara kandung laki-laki, atau empat saudara kandung perempuan, atau seorang saudara kandung laki-laki dan dua orang saudara kandung perempuan.
6) Mendapat 1/6
a) Ibu, jika yang meninggal dunia memiliki anak laki-laki atau cucu laki-laki, saudara laki-laki atau perempuan lebih dari dua yang sekandung atau sebapak atau seibu.
b) Nenek, jika yang meninggal tidak memiliki ibu dan hanya ia yang mewarisinya. Jika neneknya lebih dari satu, maka bagiannya dibagi rata.
c) Bapak secara mutlak mendapat 1/6, baik orang yang meninggal memiliki anak atau tidak.
d) Kakek, jika tidak ada bapak.
e) Saudara seibu, baik laki-laki atau perempuan, jika yang meninggal dunia tidak memiliki bapak, kakek, anak laki-laki, cucu perempuan atau laki-laki dari anak laki-laki.
f) Cucu perempuan dari anak laki-laki, jika bersama dengan anak perempuan tunggal; tidak ada saudara laki-laki, tidak ada anak laki-laki paman dari bapak.
g) Saudara perempuan sebapak, jika ada satu saudara perempuan sekandung, tidak memiliki saudara laki-laki sebapak, tidak ada ibu, tidak ada kakek, tidak ada anak laki-laki
b. Ahli Waris 'Asabah
Ahli waris asabah adalah perolehan bagian dari harta warisan yang tidak ditetapkan bagiannya dalam furud yang enam (1/2, 1/4, 1/3, 2/3, 1/6, 1/8), tetapi mengambil sisa warisan setelah ashabul furud mengambil bagiannya. Ahli waris ashabah bisa mendapatkan seluruh harta warisan jika ia sendirian, atau mendapatkan sisa warisan jika ada ahli waris lainnya, atau tidak mendapatkan apa-apa jika harta warisan tidak tersisa, berdasarkan sabda Rasulullah saw.: “Berikanlah warisan itu kepada yang berhak menerimanya, sedang sisanya berikan kepada (ahli waris) laki-laki yang lebih berhak (menerimanya).” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Bila salah seorang di antara ahli waris didapati seorang diri, maka berhak mendapatkan semua harta warisan, namun bila bersama ashabul furud, ia menerima sisa bagian dari mereka. Dan bila harta warisan habis terbagi oleh ashabul furud, maka ia tidak mendapatkan apa-apa dari harta warisan tersebut. Berikut ini adalah beberapa contoh kasus.
Ahli waris ‘asabah terbagi menjadi dua, yaitu:
1) Asabah binnasab (hubungan nasab), terbagi menjadi 3 bagian yaitu: a) Asabah bi an-nafsi, yaitu semua ahli waris laki-laki (kecuali suami, saudara laki-laki seibu, dan mu’tiq yang memerdekakan budak), mereka adalah:
Ahli waris asabah adalah perolehan bagian dari harta warisan yang tidak ditetapkan bagiannya dalam furud yang enam (1/2, 1/4, 1/3, 2/3, 1/6, 1/8), tetapi mengambil sisa warisan setelah ashabul furud mengambil bagiannya. Ahli waris ashabah bisa mendapatkan seluruh harta warisan jika ia sendirian, atau mendapatkan sisa warisan jika ada ahli waris lainnya, atau tidak mendapatkan apa-apa jika harta warisan tidak tersisa, berdasarkan sabda Rasulullah saw.: “Berikanlah warisan itu kepada yang berhak menerimanya, sedang sisanya berikan kepada (ahli waris) laki-laki yang lebih berhak (menerimanya).” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Bila salah seorang di antara ahli waris didapati seorang diri, maka berhak mendapatkan semua harta warisan, namun bila bersama ashabul furud, ia menerima sisa bagian dari mereka. Dan bila harta warisan habis terbagi oleh ashabul furud, maka ia tidak mendapatkan apa-apa dari harta warisan tersebut. Berikut ini adalah beberapa contoh kasus.
Ahli waris ‘asabah terbagi menjadi dua, yaitu:
1) Asabah binnasab (hubungan nasab), terbagi menjadi 3 bagian yaitu: a) Asabah bi an-nafsi, yaitu semua ahli waris laki-laki (kecuali suami, saudara laki-laki seibu, dan mu’tiq yang memerdekakan budak), mereka adalah:
1) Anak laki-laki
2) Putra dari anak laki-laki seterusnya ke bawah
3) Ayah
4) Kakek ke atas
5) Saudara laki-laki sekandung
6) Saudara laki-laki seayah
7) Anak saudara laki-laki sekandung dan seterusnya ke bawah
8) Anak saudara laki-laki seayah
9) Paman sekandung
10) Paman seayah
11) Anak laki-laki paman sekandung dan seterusnya ke bawah
12) Anak laki-laki paman seayah dan seterusnya ke bawah Untuk lebih memahami derajat kekuatan hak waris ‘asabah bi an-nafsi, maka kedua belas ahli waris di atas dapat dikelompokkan menjadi empat arah yaitu:
2) Putra dari anak laki-laki seterusnya ke bawah
3) Ayah
4) Kakek ke atas
5) Saudara laki-laki sekandung
6) Saudara laki-laki seayah
7) Anak saudara laki-laki sekandung dan seterusnya ke bawah
8) Anak saudara laki-laki seayah
9) Paman sekandung
10) Paman seayah
11) Anak laki-laki paman sekandung dan seterusnya ke bawah
12) Anak laki-laki paman seayah dan seterusnya ke bawah Untuk lebih memahami derajat kekuatan hak waris ‘asabah bi an-nafsi, maka kedua belas ahli waris di atas dapat dikelompokkan menjadi empat arah yaitu:
1) Arah anak, mencakup seluruh anak laki-laki keturunan anak laki-laki, mulai cucu, cicit dan seterusnya.
2) Arah bapak, mencakup ayah, kakek dan seterusnya dari pihak laki-laki, misalnya ayah dari bapak, ayah dari kakek, dan seterusnya.
3) Arah saudara laki-laki, mencakup saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki seayah, termasuk keturunan mereka, namun hanya yang laki-laki. Adapun saudara laki-laki seibu tidak termasuk, karena termasuk ashabul furud.
4) Arah paman, mencakup paman kandung dan paman seayah, termasuk keturunan mereka dan seterusnya.
Apabila dalam pembagian harta warisan terdapat beberapa ahli waris asabah bi an-nafsi, maka pengunggulannya dilihat dari segi arah. Arah anak lebih didahulukan dari yang lain. Jika anak tidak ada, maka cucu laki-laki dari keturunan laki-laki dan seterusnya. Apabila dalam pembagian harta warisan terdapat beberapa ahli waris a£abah bi an-nafsi, sedangkan mereka berada dalam satu arah, maka pengunggulannya dilihat dari derajat kedekatannya kepada pewaris, misalnya seseorang wafat meninggalkan anak serta cucu keturunan anak laki-laki. Maka hak waris secara ‘ashabah diberikan kepada anak, sementara cucu tidak mendapatkan bagian apapun dari warisan tersebut.
Adapun dasar hukum didahulukannya anak dari pada ibu bapak adalah firman Allah Swt. dalam Q.S. an-Nisa' /4:11, yaitu: Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak.”
b) Asabah bil ghair Ahli waris ‘asabah bil ghair ada empat (4), semuanya dari kelompok wanita. Dinamakan ‘ashabah bil ghair adalah karena hak ‘asabah keempat wanita itu bukanlah karena kedekatan kekerabatan mereka dengan pewaris, tetapi karena adanya ‘adabah lain (‘asabah bin nafsih). Adapun ahli waris asabah bil ghair yaitu:
1) Anak perempuan bisa menjadi ‘asabah bila bersama dengan saudara laki-lakinya.
2) Cucu perempuan keturunan anak laki-laki bisa menjadi
‘ashabah bila bersama dengan saudara laki-lakinya atau anak laki-laki pamannya (cucu laki-laki dari anak laki-laki), baik yang sederajat dengannya atau bahkan lebih di bawahnya.
3) Saudara kandung perempuan akan menjadi ‘asabah bila bersama dengan saudara kandung laki-laki.
4) Saudara perempuan seayah akan menjadi asabah bila bersama dengan saudara laki-laki.
Dalam kondisi seperti ini bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan. Mereka mendapatkan bagian sisa harta yang telah dibagi, jika harta telah habis terbagi, maka gugurlah hak waris bagi mereka.
c) Asabah ma’al gair Orang yang termasuk ‘asabah ma’al gair ada dua, yaitu seperti berikut ini.
1) Saudara perempuan sekandung satu orang atau lebih berada bersama dengan anak perempuan satu atau lebih atau bersama putri dari anak laki-laki satu atau lebih atau bersama dengan keduanya.
2) Saudara perempuan seayah satu orang atau lebih bersama dengan anak perempuan satu atau lebih atau bersama putri dari anak laki-laki satu atau lebih atau bersama dengan keduanya.
Adapun landasan hukum adanya ‘asabah ma’al gair adalah hadis Rasulullah saw. bahwa Abu Musa al-Asy’ari ditanya tentang hak waris anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak lakilaki, dan saudara peremuan sekandung atau seayah. Abu Musa menjawab: “Bagian anak perempuan separo dan saudara perempuan separo.” (HR. Al-Bukhari).
2) Asabah bissabab (karena sebab) Yang termasuk 'asabah bissabab (karena sebab) adalah orang-orang yang membebaskan budak, baik laki-laki atau perempuan. Dari penjelasan tentang pembagian harta warisan di atas, jika semua ahli waris itu ada atau berkumpul, maka ada tiga kondisi yang harus diperhatikan, seperti berikut ini.
a) Jika semua ahli waris laki-laki berkumpul, maka yang berhak mendapatkan warisan hanyalah 3 orang yaitu: ayah, anak-laki-laki dan suami, dengan pembagian ayah 1/6, suami 1/4 dan sisanya adalah anak laki-laki (‘‘asabah).
b) Jika semua ahli waris perempuan berkumpul, maka yang berhak mendapatkan warisan adalah 5 orang yaitu: istri 1/8, ibu 1/6, anak perempuan ½, dan sisanya saudara perempuan sekandung sebagai
‘asabah.
c) Jika terkumpul semua ahli waris laki-laki dan perempuan, maka yang berhak mendapatkan warisan adalah lima orang yaitu: ibu, bapak, anak laki-laki, anak perempuan, suami/istri dengan pembagian sebagai berikut:
1) Jika pada ahli waris tersebut terdapat istri, maka bagian ayah 1/6, ibu 1/6, istri 1/8, dan sisanya anak laki-laki dan perempuan sebagai ‘asabah dengan ketentuan anak laki-laki dua kali lipat anak perempuan.
2) Jika pada ahli waris tersebut terdapat suami, maka bagian ayah 1/6, ibu 1/6, suami ¼ dan sisanya anak laki-laki dan perempuan sebagai ‘asabah dengan ketentuan anak laki-laki dua kali lipat anak perempuan.
Sumber dari Buku Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti / Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Untuk SMA/SMK/MA Kelas XII
Kontibutor Naskah : Feisal Ghozaly dan HA. Sholeh Dimyathi
Penelaah : Dr. Marzuki, M.Ag. dan Drs. Yusuf A. Hasan, M.Ag.
Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan perbukuan, Balitbang, Kemendikbud.
Apa|Bagaimana|Dimana|
|Kapan|Mengapa|Siapa
2) Arah bapak, mencakup ayah, kakek dan seterusnya dari pihak laki-laki, misalnya ayah dari bapak, ayah dari kakek, dan seterusnya.
3) Arah saudara laki-laki, mencakup saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki seayah, termasuk keturunan mereka, namun hanya yang laki-laki. Adapun saudara laki-laki seibu tidak termasuk, karena termasuk ashabul furud.
4) Arah paman, mencakup paman kandung dan paman seayah, termasuk keturunan mereka dan seterusnya.
Apabila dalam pembagian harta warisan terdapat beberapa ahli waris asabah bi an-nafsi, maka pengunggulannya dilihat dari segi arah. Arah anak lebih didahulukan dari yang lain. Jika anak tidak ada, maka cucu laki-laki dari keturunan laki-laki dan seterusnya. Apabila dalam pembagian harta warisan terdapat beberapa ahli waris a£abah bi an-nafsi, sedangkan mereka berada dalam satu arah, maka pengunggulannya dilihat dari derajat kedekatannya kepada pewaris, misalnya seseorang wafat meninggalkan anak serta cucu keturunan anak laki-laki. Maka hak waris secara ‘ashabah diberikan kepada anak, sementara cucu tidak mendapatkan bagian apapun dari warisan tersebut.
Adapun dasar hukum didahulukannya anak dari pada ibu bapak adalah firman Allah Swt. dalam Q.S. an-Nisa' /4:11, yaitu: Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak.”
b) Asabah bil ghair Ahli waris ‘asabah bil ghair ada empat (4), semuanya dari kelompok wanita. Dinamakan ‘ashabah bil ghair adalah karena hak ‘asabah keempat wanita itu bukanlah karena kedekatan kekerabatan mereka dengan pewaris, tetapi karena adanya ‘adabah lain (‘asabah bin nafsih). Adapun ahli waris asabah bil ghair yaitu:
1) Anak perempuan bisa menjadi ‘asabah bila bersama dengan saudara laki-lakinya.
2) Cucu perempuan keturunan anak laki-laki bisa menjadi
‘ashabah bila bersama dengan saudara laki-lakinya atau anak laki-laki pamannya (cucu laki-laki dari anak laki-laki), baik yang sederajat dengannya atau bahkan lebih di bawahnya.
3) Saudara kandung perempuan akan menjadi ‘asabah bila bersama dengan saudara kandung laki-laki.
4) Saudara perempuan seayah akan menjadi asabah bila bersama dengan saudara laki-laki.
Dalam kondisi seperti ini bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan. Mereka mendapatkan bagian sisa harta yang telah dibagi, jika harta telah habis terbagi, maka gugurlah hak waris bagi mereka.
c) Asabah ma’al gair Orang yang termasuk ‘asabah ma’al gair ada dua, yaitu seperti berikut ini.
1) Saudara perempuan sekandung satu orang atau lebih berada bersama dengan anak perempuan satu atau lebih atau bersama putri dari anak laki-laki satu atau lebih atau bersama dengan keduanya.
2) Saudara perempuan seayah satu orang atau lebih bersama dengan anak perempuan satu atau lebih atau bersama putri dari anak laki-laki satu atau lebih atau bersama dengan keduanya.
Adapun landasan hukum adanya ‘asabah ma’al gair adalah hadis Rasulullah saw. bahwa Abu Musa al-Asy’ari ditanya tentang hak waris anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak lakilaki, dan saudara peremuan sekandung atau seayah. Abu Musa menjawab: “Bagian anak perempuan separo dan saudara perempuan separo.” (HR. Al-Bukhari).
2) Asabah bissabab (karena sebab) Yang termasuk 'asabah bissabab (karena sebab) adalah orang-orang yang membebaskan budak, baik laki-laki atau perempuan. Dari penjelasan tentang pembagian harta warisan di atas, jika semua ahli waris itu ada atau berkumpul, maka ada tiga kondisi yang harus diperhatikan, seperti berikut ini.
a) Jika semua ahli waris laki-laki berkumpul, maka yang berhak mendapatkan warisan hanyalah 3 orang yaitu: ayah, anak-laki-laki dan suami, dengan pembagian ayah 1/6, suami 1/4 dan sisanya adalah anak laki-laki (‘‘asabah).
b) Jika semua ahli waris perempuan berkumpul, maka yang berhak mendapatkan warisan adalah 5 orang yaitu: istri 1/8, ibu 1/6, anak perempuan ½, dan sisanya saudara perempuan sekandung sebagai
‘asabah.
c) Jika terkumpul semua ahli waris laki-laki dan perempuan, maka yang berhak mendapatkan warisan adalah lima orang yaitu: ibu, bapak, anak laki-laki, anak perempuan, suami/istri dengan pembagian sebagai berikut:
1) Jika pada ahli waris tersebut terdapat istri, maka bagian ayah 1/6, ibu 1/6, istri 1/8, dan sisanya anak laki-laki dan perempuan sebagai ‘asabah dengan ketentuan anak laki-laki dua kali lipat anak perempuan.
2) Jika pada ahli waris tersebut terdapat suami, maka bagian ayah 1/6, ibu 1/6, suami ¼ dan sisanya anak laki-laki dan perempuan sebagai ‘asabah dengan ketentuan anak laki-laki dua kali lipat anak perempuan.
Sumber dari Buku Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti / Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Untuk SMA/SMK/MA Kelas XII
Kontibutor Naskah : Feisal Ghozaly dan HA. Sholeh Dimyathi
Penelaah : Dr. Marzuki, M.Ag. dan Drs. Yusuf A. Hasan, M.Ag.
Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan perbukuan, Balitbang, Kemendikbud.
Apa|Bagaimana|Dimana|
|Kapan|Mengapa|Siapa