Langsung ke konten utama

Perjuangan di Volksraad | Partai Indonesia Raya (Parindra) | Gabungan Politik Indonesia (GAPI)


Pada akhir tahun 1929, pimpinan PNI ditangkap. Untuk melanjutkan perjuangan maka dibentuklah fraksi baru dalam volksraad yang bernama Fraksi Nasional, pada Januari 1930 di Jakarta. Fraksi itu diketua oleh Muhammad Husni Tramrin yang beranggotakan sepuluh orang yang berasal dari Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Tujuan organisasi itu adalah menjamin kemerdekaan Indonesia dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Penangkapan pimpinan PNI menjadi pembicaraan di kalangan Fraksi Nasional. Mereka mengecam tindakan pemerintah terhadap ketidakadilan yang diterapkan terhadap gerakan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Ketidakadilan itu bersumber dari artikel 169 sub, 153 bis, dan 161 bis. Atas usulan Fraksi Nasional itu vollksraad meninjau ulang kebijakan pemerintah kolonial. Pemerintah kemudian mengusulkan perkara yang dituduhkan kepada para pemimpin ke pengadilan tinggi, bukan pengadilan negeri. Akan tetapi permintaan itu ditolak, karena masalah itu menyangkut masalah perbuatan pidana, bukan masalah pelanggaran politik. Jelaslah bahwa gerakan yang dilakukan oleh kaum pergerakan dianggap sebagai kejahatan yang mengganggu keamanan bukan sebagai gerakan politik.

Fraksi Nasional juga menolak usulan pemerintah untuk memperkuat pertahanan yang dapat menghabiskan biaya yang besar. Ini berarti menambah kesengsaraan rakyat karena situasi ekonomi saat itu sedang mengalami depresi. Menurut Fraksi Nasional lebih baik biaya itu digunakan untuk meningkatkan kesejateraan rakyat. Sementara pengawasan dalam bidang politik semakin diperketat dengan adanya bermacam-macam larangan, seperti larangan berkumpul, pembredelan surat kabar, dan propaganda. Fraksi Nasional juga mendorong anggotanya untuk lebih berperan dalam Volksraad. Para nasionalis di Volksraad diminta untuk bersikap nonkooperasi.

Meskipun aspirasi masyarakat sudah mendapat tempat, melalui perjuangan yang bersikap moderat dalam perjuangannya, rasa tidak puas terhadap pemerintah terus berkembang. Kericuhan sempat muncul dengan adanya Petisi Sutardjo pada 15 Juli 1936, dalam sidang Volksraad.
Petisi itu
menyuarakan tentang kurang giatnya pergerakan nasional dalam pergerakan yang disebabkan oleh tidak adanya saling pengertian dari pihak pemerintah. Situasi politik dunia saat itu, yaitu sedang berkembangnya naziisme dan fasisisme seharusnya membuat pemerintah waspada melihat bahaya yang mungkin mengancam Indonesia, sehingga perlu mempererat hubungan dengan Pergerakan Nasional Indonesia.

Sutardjo Kartohadikusumo, yang saat itu sebagai ketua Persatuan Pegawai Bestuur/Pamong Praja Bumi Putera dan wakil dari organisasi itu di Volksraad, mendapat dukungan dari beberapa wakil golongan dan daerah dari Volksraad mengusulkan diadakan suatu musyawarah antara wakil Indonesia dan Kerajaan Belanda untuk menentukan masa depan bangsa Indonesia yang dapat berdiri sendiri meskipun dalam ruang lingkungan Kerajaan Belanda. Petisi itu melahirkan pro dan kontra, baik di kalangan Indonesia dan Belanda.

Petisi itu mendapat persetujuan mayoritas dari anggota Volksraad, selanjutnya disampaikan pada pemerintah kerajaan dan parlemen Belanda. Partai Nasional saat itu memperingatkan pada para pendukung petisi, bahwa tindakan yang diambil itu tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, seperti Volksraad sehingga usaha itu sia-sia belaka. Pendukung petisi itu tidak menghiraukan peringatan itu, bahkan membentuk suatu komite agar petisi itu mendapat dukungan luas di kalangan rakyat. Kondisi itu tidak hanya bergerak di Indonesia saja, bahkan hingga ke negeri Belanda, sehingga menyetujui petisi itu.

Petisi itu tanpa melalui perdebatan ditolak oleh pemerintah Belanda pada 16 November 1938. Alasan penolakan petisi adalah Indonesia belum siap untuk memikul tanggungjawab memerintah diri sendiri. Bangsa Indonesia juga dinilai belum mampu untuk berdiri apalagi menjadi negara yang merdeka. Cara penolakan yang tanpa perdebatan di parlemen mengecewakan pihak pergerakan nasional, meskipun pihak yang ditolak sesungguhnya telah menduga sebelumnya. Realitas itu menunjukkan bahwa tuntutan rakyat Indonesia tidak dibicarakan secara terbuka di parlemen.



a. Partai Indonesia Raya (Parindra)

Partai Indonesia Raya didirikan di Solo pada Desember 1935. Partai ini merupakan gabungan dari dua organisasi yang berfusi yaitu BU dan PBI. Sebagai ketuanya dipilih dr. Sutomo. Tujuan partai adalah mencapai Indonesia Raya dan mulia yang hakekatnya mencapai Indonesia merdeka.

Di Jawa anggota Parindra banyak berasal dari petani, mereka kemudian disebut dengan kaum kromo. Di daerah lain masuk kaum Betawi, Serikat Sumatera, dan Sarikat Selebes. Partai ini adalah yang mengajukan petisi Sutardjo yang ditandatangani oleh Sutardjo, penandatanganan pertama, yang lainnya I.J.Kasimo.dr. Sam Ratulangi, Datuk Tumenggung, Kwo Kwat tiong, dan Alatas.




b. Gabungan Politik Indonesia (GAPI)

Kegagalan Petisi Sutardjo mendorong gagasan untuk menggabungan organisasi politik dalam suatu bentuk federasi. Gabungan Politik Indonesia (GAPI) itu diketuai oleh Muh. Husni Thamrin. Pimpinan lainnya adalah Mr. Amir Syarifuddin, dan Abikusno Tjokrosuyoso. Alasan lain dibentuknya GAPI adalah adanya situasi internasional akibat meningkatnya pengaruh fasisme. Juga sikap pemerintah yang kurang memperhatian kepentingan bangsa Indonesia. Kemenangan dan kemajuan yang diperoleh negara fasis yaitu, Jepang, Jerman, Italia tidak menggembirakan Indonesia. Karena itu pers Indonesia menyerukan untuk menyusun kembali baris dalam suatu wadah persatuan berupa “konsentrasi nasional”.

Parindra berpendapat pentingnya untuk perjuangan ke dalam, yaitu menyadarkan dan menggerakan rakyat untuk memperoleh suatu pemerintahan sendiri, serta menyadarkan pemerintah Belanda akan citacita bangsa Indonesia. Juga mengadakan perubahan pendekatan dengan organisasi-organisasi politik untuk membicarakan masa depan bangsa Indonesia. Pada 21 Mei 1939, dalam rapat pendirian konsentrasi nasional di Jakarta berhasil didirikan suatu organisasi yang merupakan kerjasama partai politik nasional di Jakarta yang diberi nama Gabungan Partai Politik Indonesia (GAPI).

Anggaran Dasar GAPI menyebutkan, bahwa GAPI mempunyai hak untuk menentukan diri sendiri; persatuan nasional dari seluruh bangsa Indonesia dengan berdasarkan kerakyatan dalam paham politik, ekonomi, sosial, dan persatuan aksi seluruh pergerakan Indonesia. Dalam konferensi I GAPI (4 Juli 1939) dibicarakan aksi GAPI dengan semboyan Indonesia berparlemen. GAPI tidak menuntut kemerdekaan penuh, tetapi suatu parlemen berdasarkan sendi demokrasi.

Untuk mencapai tujuannya GAPI menyerukan pada rakyat Indonesia untuk didukung oleh semua lapisan masyarakat. Seruan itu disambut hangat oleh Pers Indonesia. Pada 1939, GAPI mengadakan rapat umum. Tidak kurang dari seratus tempat mengadakan rapat propaganda tujuan GAPI, sehingga suasana di Indonesia saat itu menyerukan Indonesia berparlemen. Penyadar, PNI Baru, dan Perkumpulan Kristen Indonesia tidak sependapat dengan GAPI. Mereka berpendapat tidak ada gunanya bersifat meminta-minta kepada Belanda.

Untuk mencapai tujuannya GAPI membentuk Kongres Rakyat Indonesia (KRI). Tujuan kongres untuk kesempurnaan Indonesia dan cita-citanya, yaitu Indonesia Berparlemen penuh. Keputusan penting lainnya adalah penetapan bendera Merah Putih dan lagu Indonesia Raya sebagai bendera dan lagu persatuan Indonesia. Juga pengggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa rakyat Indonesia. Selanjutnya dibentuk Komite Parlemen Indonesia.

Saat Jerman menyerbu Polandia GAPI mengeluarkan Manifest GAPI (20 September 1939). Isi manifest itu mengajak rakyat Indonesia dan Negeri Belanda untuk bekerjasama menghadapi bahaya fasisme. Menurut GAPI usaha itu lebih berhasil bila rakyat Indonesia diberi hak baru dalam urusan pemerintahan, yaitu suatu pemerintahan dengan parlemen yang dipilih dari, oleh rakyat, dan pemerintah yang bertanggungjawab kepada parlemen.

Pada Agustus 1940, saat negeri Belanda dikuasai Jerman dan Indonesia dinyatakan dalam darurat perang, GAPI kembali mengeluarkan resolusi yang menuntut diadakannya perubahan ketatanegaraan di Indonesia dengan menggunakan hukum tata negara dalam masa genting. Isi resolusi adalah mengganti Volksraad dengan parlemen sejati yang anggotanya dipilih rakyat dan mengubah fungsi kepala departemen menjadi menteri yang bertanggungjawab kepada parlemen. Bagi rakyat serta organsasi lainnya yang tidak bergabung dalam GAPI diminta untuk mendukung GAPI. Resolusi itu dikirimkan ke gubernur jenderal, Volksraad, Ratu Wilhelmina, dan kabinet Belanda di London.

Aksi gigih yang dilakukan itu menghasilkan persetujuan pemerintah. Pada 14 September 1940 dibentuk Commissietot besudeering van staatsrechtelijke Hervormigen. Komisi itu dikenal dengan komisi Visman, karena diketuai oleh D. Visman. Pembentuk komisi itu tidak mendapat sambutan baik dari Volksraad maupun dari GAPI sendiri. Ketidaksetujuan itu didasarkan dari pengalaman sebelumnya, bahwa pembentuk komisi tidak menghasilkan perbaikan nasib rakyat seperti yang diinginkan. Untuk menghindari ketidaksamaan pendapat dalam menghadapi komisi Visman, GAPI meminta anggota-anggotanya untuk tidak memberikan pendapatnya sendiri-sendiri. Sikap GAPI menjadi lunak ketika menerima undangan secara resmi dari komisi Visman. Sementara itu Volksraad mengajukan suatu mosi yang lebih ringan dengan mengajak kerjasama pemimpin Indonesia dan pemerintah Belanda.

Pertemuan wakil GAPI dengan komisi Visman pada 14 Februari 1941 di Gedung Raad van Indie, di Jakarta tidak menghasilkan hal baru. Pertemuan itu hanya menambahkan kekecewaan pada kalangan pergerakan sehingga ada anggapan GAPI tidak radikal lagi.











Sumber Buku Cetak Sejarah Indonesia / Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.-Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014.

Untuk SMA/MA/SMK/MAK Kelas XI Semester 1

Kontributor : Sardiman AM, dan Amurwani Dwi Lestariningsih.
Penelaah : Purnawan Basundoro dan Baha Uddin.
Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud



Apa|Bagaimana|Dimana|
|Kapan|Mengapa|Siapa